Medan-Intainew | Hakim Pengadilan Agama harus tampil sebagai benteng terakhir pencegahan terjadinya pernikahan dini yang terjadi pada anak, dengan cara menolak perkara-perkara dispensasi nikah demi terciptanya regenerasi bangsa yang lebih berkualitas.
Hal ini disampaikan Akma Qomariah Lubis pada sidang terbuka Doktoral Program Studi Hukum Islam (HUKI) Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN SU) dengan judul disertasi 'Contra Legem Pertimbangan Penetapan Hakim Tentang Dispensasi Kawin Pada Era Pandemi Covid-19 Perspektif Hukum Progresif dan Maqashid Syariah' di hadapan para penguji, berlangsung di Kampus I UIN SU, Jalan Sutomo Medan, Rabu (28/2/2024).
Menurut Akma, ada beberapa alasan mengapa penetapan hakim tentang pencegahan terjadinya pernikahan muda :
- Semata-mata mencegah terjadinya risiko stunting,
- Kehidupan kemiskinan berkesinambungan,
- Belum siapnya organ reproduksi anak,
- Potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan Dispensasi Kawin yang masuk ke Pengadilan Agama yang diberikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur pasal 7 ayat (1) UU No. 16/2019 Tentang Perkawinan," ujar Akma dalam uraiannya.
Lebih jauh di jelaskan Akma, perubahan usia minimal 19 tahun bagi pria dan wanita melangsungkan perkawinan menimbulkan ekspektasi yang tinggi guna meminimalisir pernikahan anak di bawah umur.
"Tercantumnya klausul dispensasi kawin dalam pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan memberikan kesan hilangnya ketegasan hukum terhadap pengentasan perkawinan di bawah umur. Hakim sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh UU untuk menilai maslahah atau tidaknya perkawinan untuk dilangsungkan," sambungnya.
Kemudian dijelaskan Promovendus, penerapan asas Contra Legem dalam pertimbangan penetapan Hakim dalam kasus Dispensasi Kawin di era pendemi covid-19 dalam memutus perkara yang pertama tidak hanya menggunakan UU saja, tetapi mempertimbangkan dari sisi kultur atau cara pandang masyarakat yang memandang bahwa hubungan seksual dan hamil di luar nikah adalah hal yang tabu dan tidak layak dilakukan.
"Apabila tidak ada Hakim yang berani menolak permohonan dispensasi kawin karena calon mempelai telah hamil sebelum nikah, maka menjadi preseden buruk bagi pasangan lain melakukan hal serupa, walaupun dalam pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan bahwa dispensasi kawin itu boleh atas izin dari pengadilan, tetapi Hakim tetap memegang prinsip bahwa calon suami dan istri harus telah masak jiwa raganya sesuai dalam UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan," ujarnya.
Hal berikutnya memegang prinsip dalam UU Nomor 35/2014 Tentang Perubahan atas UU Nomor 23/2002 Tentang Perlindungan Anak yang tidak menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur.
"Berikutnya majelis Hakim juga mempertimbangkan dari sisi syariat yang melarang seorang muslim melakukan perbuatan zina, karena itu perbuatan keji, maka penolakan dispensasi kawin dilakukan agar orang yang melakukan zina mendapatkan efek jera akibat perbuatan yang telah dia lakukan," ujarnya.
Selanjutnya dijelaskan, bahwa upaya pencegahan perkawinan anak dapat dilakukan secara holistik dan integratif dalam Perspektif Hukum Progresif dan Maqashid Syariah. Hukum mencegah pernikahan anak dalam konteks perwujudan kemaslahatan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.
"Pihak-pihak yang paling bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan pernikahan anak mulai orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara adalah memastikan hak-hak anak terpenuhi terutama hak pendidikan, kesehatan, pengasuhan dari orang tua, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi," ujar Akma yang turut didampingi suami Ir Ahmad Ansori dan anak-anak M. Riswan Azifi, Qory Zakirah Anshori, M. Avecenna Al Fikri, dan M. Hariry Hashfi.
Prinsip Maqashid Syariah menurut pandangan Imam Al-Syatibi adalah untuk menjaga lima perkara asas yang dimiliki manusia yang terdiri, menjaga agama (hifzhu al-diin), menjaga jiwa (hifzhu al-nafs), menjaga harta (hifzhu al-maal), menjaga akal (hifzhu al-aql) dan menjaga keturunan dan kehormatan (hifzhu al-nasl).
Pimpinan Sidang Terbuka Prof. Dr. Syukur Kholil, MA (Ketua Sidang sekaligus Mewakili Rektor UIN SU), Prof. Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi sebagai sekretaris sidang. Promotor di antaranya Prof. Dr. Pagar, M.Ag, Dr. Fauziah Lubis, SH.,M.Hum. Sedangkan penguji eksternal Dr. Zulkarnain, MA dan Penguji Internal terdiri dari Dr. Ramadhan Syahmedi Siregar, MA dan Dr. Mhd. Yadi Harahap, MH.
Prof Dr Syukur Kholil, MA dalam penutupan sidang terbuka mengumumkan Akma Qomariah Lubis mendapatkan nilai disertasi 92,7 dan IPK 3,88 dengan Yudisium Pujian sekaligus alumni Program Studi Doktor ke-576.
"Kepadanya berhak atas gelar Doktor," ucap Prof Syukur sembari menutup sidang.
Sementara itu Dr. Arifuddin Muda Harahap, MHum selaku Ketua Prodi S3 Hukum Islam (HUKI) Pascasarjana UIN SU berharap, hasil disertasi Dr Akma Qomariah Lubis ini memberi penegasan di lingkup Pengadilan Agama di dalam tugas keseharian.
"Semoga hasil disertasi atas nama Dr Akma Qomariah Lubis memberikan energi positif bagi para Hakim di lingkup Pengadilan Agama dalam memutus perkara sebagaimana yang dimuat dalam disertasi ini," ujar Dr Arif.
Turut berhadir juga Kolega dan Teman sejawat dari Dr. Akma Qamariah Lubis, MA yakni Dr. Hj. Sakwanah, S.H., M.H. (Wakil Ketua PA. Medan), Evawaty, S.HI., M.H (Ketua PA. Stabat), Dra. Hj. Hafnita Lubis, M.SI (Dosen UNIMED), Dr. Sri Armaini, S.HI., M.H (Wakil Ketua PA. Stabat) Ir. Nina Kartika, M.AP. (Dosen ISTP Medan), H. Alpun Khoir, M.H. (Panitera PA. Lubuk Pakam), Dra. Siti Masitah, S.H. (Hakim PA. Stabat) Dra. Rabiah Nasution, S.H. (Hakim PA. Stabat). * Int-My/r
Posting Komentar